Senin, 21 Mei 2018

Kuas Cahaya


Kuas Cahaya

Tersebutlah kisah dari desa Zalipie, Sebuah desa kecil di negara Polandia yang terlihat sangat menawan, kecil dan indah. Hampir setiap rumah,  berhiaskan sebuah lukisan yang sungguh menawan hati.  Didesa tersebut, tinggal seorang anak  laki-laki  10 tahun bernama Zaidan. Ia tinggal bersama ibu dan adik perempuannya, Zaira. Ibunya  adalah seorang guru Fisika, sedangkan Ayahnya  adalah seorang pelukis hebat yang sudah meninggal dunia ketika Zaidan masih berusia 6 tahun, dan Zaira 4 tahun.
Zaidan, adalah anak yang sangat senang melukis, Ia selalu melukis dengan Kuas Biru muda berukir lengkungan hitam di tengah, yang dibelikan ayah dihari ulang tahun pertamanya. Namun sayangnya, sang  adik, sama sekali tidak suka melukis. Hal ini dikarenakan kulit Zaira yang sangat sensitif dengan cat warna.  Sedkit saja ia terkena cat warna, kulitnya akan muncul bintik merah yang memberi rasa gatal dan panas luar biasa.
Sebenarnya zaira pun dulu sangat senang melukis. Namun, hal itu berubah menjadi ketakutan luar biasa pada semua hal yang berhubungan dengan lukis melukis ketika tak sengaja kulitnya terkena cat air ketika hendak menuangkannya ke palet. Kulit Zaira memerah, dan cepat sekali menyebar ke bagian kulit disekitarnya. Zaira pun dibawa ke rumah sakit dan dirawat selama seminggu. Hal itu membawa trauma mendalam baginya,  hingga ia sangat membenci seni lukis. Ibunda zaira begitu sedih, melihat anak perempuannya sangat membenci seni lukis. Sudah berbagai cara dilakukan agar Zaira mau kembali melukis. Namun selalu saja gagal.
Pada suatu hari, ada sebuah pesta rakyat di Desa Zalippie. Zaidan dan Zaira sangat senang menyambut acara tersebut. Namun, ada yang berbeda  di Pesta Rakyat tahun itu yang mengusung tema “Kuas Cahaya”.  Setiap permainan yang ada, boleh dimainkan secara gratis oleh setiap anak, namun harus dibayar dengan satu lukisan yang berhubungan dengan cahaya, seperti pelangi, bunga matahari, dan lain sebagainya.
Ibu Zaira sangat bahagia mendengar hal tersebut. Ia berharap, semoga acara ini bisa membuat Zaira kembali mau melukis. Hari pertama Pesta Rakyat, terlihat banyak sekali pengunjung. Zaidan mendaftar untuk naik kereta gantung. Panitia memberikannya kertas  gambar. Namun, tiba tiba ia teringat sesuatu.  “aduh, kuas biruku lupa kubawa” kata Zaidan Cemas . Tampak raut cemas diwajah Zaira. “kenapa dik?” Tanya zaidan. Zaidan bingung melihat kelakuan adiknya yang agak aneh. “yuk ikut pulang, kakak mau ambil kuas kakak” .
Tak berapa lama kemudian, mereka sampai dirumah. Zaidan langsung masuk ke kamar dan mencari kuasnya. Tiba tiba, terdengar teriakan Zaidan dari dalam kamar. “Ibuuuuuu…….” . ia berlalri keluar kamar sambil menangis. “ada apa nak??” Tanya ibunya bingung. “Ibu… kuas biru ku Patah bu….”. Jawabnya sambil terus terisak. Zaira tampak menangis. Zaidan yang masih emosi, langsung menerka, bahwa adiknyalah yang telah mematahkan kuasnya. “Zairaa… kamu kan yang mematahkan kuas kakak?. Kenapa kamu lakukan ini Zaira, kamu kan tau itu kuas kesayangan kakak.” Zaidan mulai menghakimi Zaira tanpa pernah bertanya apa yang sesungguhnya terjadi. Ia terlihat sangat marah pada adiknya. “Zaidan, kamu tidak boleh berkata kasar begitu kepada adik.” Pinta sang ibu.  Zaira terlihat masih terisak. “Aku yakin, Zaira sengaja bu, supaya aku tidak bisa bermain di Pesta Rakyat,  Ia kan Zairaa?” Tanya zaidan masih dengan emosi yang menggebu.
Ibu pun kembali menenangkan suasana. “Zaira sayang, benarkah yang dikatakan kakakmu nak?” Tanya ibu lembut pada Zaira. “Be.. benarr.. bu” jawabnya. “tuh kan….. kenapa Zairaa??” jawab Zaidan semakin keras. “Zaira memang tidak suka melukis kak. Tapi Zaira tidak pernah ingin sengaja merusak kuas kakak. Zaira tidak sengaja. Kemarin, sewaktu kakak menginap dua hari  di sekolah, Arzuni datang meminjam kuas cat pada Zaira. Dia ada tugas melukis. Ayahnya belum sempat membelikan kuas baru. Zaira malu jika ia  tau  aku  tidak suka melukis dan tidak punya kuas lukis. Akhirnya, Zaira meminjamkan kuas kakak pada nya. Zaira tidak menemukan kuas kakak yang lain. Zaira hanya menemukan kuas biru kakak. Zairapun meminjamkannya pada Arzuni”.
“Tak lama kemudian, dia datang mengembalikan kuas itu. Namun, kuasnya sangat kotor. Aku marah padanya, kenapa dia tidak bertanggungjawab menjaga kuas kakak. Diapun menjawab, bahwa dia tidak sempat membersikan, butuh waktu lama membersihkannya karena harus direndam di dalam air agar cat yang melekat bisa mudah dibersihkan, sedangkan ia harus segera pergi menjenguk neneknya yang sakit. Akhirnya, Zaira dengan hati hati memegang kuas itu, lalu merendamnya di gelas berisi air. setelah bebarapa jam, Zaira kaget melihat kuas itu patah…”
“Boleh ibu lihat?” Tanya ibu. “boleh bu”, Jawab Zaira. Ibu pun berjalan ke kamar mereka. Setelah melihat  kuas yang masih terendam di dalam gelas berisi air, ibu langsung tertawa geli. Zaira dan Zaidan saling berpandangan bingung. “Zaidan, coba kamu ambil kuas itu dari dalam gelas” pinta ibu sambil tersenyum. Zaidanpun menuruti permintaan ibunya. Dan diapun tertawa bahagia melihat kuas itu ternyata masih baik baik saja, walau masih ada banyak cat menempel di kuas itu. “Kuasnya tidak patah ternyata bu.”  Zaidan bingung namun dia tertawa. begitu juga dengan Zaira.
“Ibu bisa sulap kah?” Tanya Zaira. “Ia bu, bagaimana ibu melakukan ini??” Tanya Zaidan penasaran. “Hmmm… bagaimana ya…“ ibu mencoba menggoda kedua anaknya yang penasaran. “ayo bu, sekarang jelaskan bu…” pinta Zaira dan Zaidan. “Baiklah, Anak anak ku tersayang,  Ibu bukan pesulap. Ibu tidak bisa sama sekali membuat kuas patah bisa tersambung kembali. Namun ibu bisa pastikan bahwa kuas ini sebenarnya memang tidak patah.” Jawab ibu sambil tersenyum. “Apa??” Zaira dan zaidan terbelalak mendengar perkataaan sang ibu. “ Iya, kuas ini memang sebenarnya tidak patah. Ini hanyalah sebuah ilusi cahaya” jawab sang ibu. “Ilusi Cahaya??” jawab mereka berbarengan.
“Saat cahaya merambat dalam  udara, air, atau kaca, ia akan menempuh lintasan lurus. tetapi, bila ia melalui batas media yang berbeda, maka jalannya akan berbelok. Kuas kakak Zaidan yang dicelupkan sebagian dalam air, akan terlihat patah, dikarenakan jalannya cahaya dari bagian kuas yang berada di atas permukaan air dan dari bagian yang tercelup dalam air menempuh lintasan yang tidak sama. Cahaya dari bagian kuas yang berada di atas permukaan air menempuh lintasan lurus dari bagian kuas menuju mata, sedangkan cahaya dari bagian kuas yang tercelup dalam air menempuh lintasan yang telah dibelokkan karena melalui dua medium berbeda yaitu air dan udara, dari bagian pensil menuju mata. Mata kita menerima cahaya yang masuk dan otak kemudian mengolahnya. Otak mengintepretasikan cahaya yang masuk selalu menempuh lintasan lurus, padahal untuk bagian kuas yang berada di dalam air, cahaya telah dibiaskan. Dengan demikian akan muncul gambaran dalam otak kita bahwa bagian kuas yang berada di atas permukaan air dan bagian yang tercelup tidak berada di suatu garis lurus. Karena itulah kuas akan terlihat patah.”
Zaidan Zaira terdiam mendengar penjelasan Ibu. “hmm.. sepertinya kalian belum sepenuhnya faham dengan penjelaan ibu ya, ia, karena kalian belum cukup usia untuk memahami hal ini anak anakku. Namun suatu hari nanti, kalian pasti akan faham. Intinya, ini hanyalah sebuah sulap mata anak anakku…”jawab sang ibu sambil tertawa mengakhiri ceritanya. Zaira dan Zaidanpun ikut tertawa bersama sang ibu.
“Anak anakku, peristiwa ini ternyata tanpa kalian sadari, membawa banyak pelajaran berharga untuk kalian. Dengarkan ibu ya,  Jangan pernah benci kepada sesuatu secara berlebihan. Karena itu malah akan membawa masalah untuk kita sendiri disuatu hari nanti. Jangan juga meminjamkan barang yang bukan milik kita kepada orang lain. Selain itu, jangan pernah menuduh siapapun, tanpa terlebih dahulu meminta penjelasan atau mendapatkan bukti yang jelas bahwa orang tersebut memang bersalah. Dan yang terpenting adalah, Sikap suka meminta maaf, dan sikap saling memaafkan”. Zaira dan zaidan pun berjanji untuk lebih saling sayang menyayangi, saling menjaga, dan saling membantu satu dengan lainnya. Dan yang lebih membahagiakan adalah bahwa peristiwa tersebut, mampu menggetarkan hati Zaira, untuk mau mencoba melukis kembali, walau tanpa cat air yang membuat alerginya kambuh tentunya.  Keluarga itu pun semakin menampakkan kebahagiaan dan keharmonisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar